Wakil Direktur Orasi Ilmiah Di Sekolah Tinggi Ittifaqiyah Indralaya

TANTANGAN PERGURUAN TINGGI ISLAM DALAM MENINGKATKAN MUTU LULUSAN DI ERA DESTRUPTIVE

Oleh:

Dr. Abdurrahmansyah, M.Ag.

(Wakil Direktur Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang)

 

 

Pendahuluan

Saat ini perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) menghadapi tantangan internal dan eksternal yang luar biasa. Secara internal, perguruan tinggi Islam masih menyimpan banyak kelemahan dari sisi manajemen, input, tenaga pendidik, fasilitas pendidikan, desain kurikulum, pendanaan, dan lain-lain. Secara eksternal, perkembangan modernitas dan global impact dengan tawaran teknologi yang sangat cepat menghajatkan semua institusi pendidikan untuk beradaptasi.

Teknologi digital (digital technology) dengan tingkat speed up-grade yang sangat cepat menuntut lembaga pendidikan menggunakan sistem pengelolaan dan proses pendidikan berbasis teknologi ini. Jika tidak, maka berbagai persoalan pengelolaan sistem layanan akan berjalan lambat yang selanjutnya pasti akan mempengaruhi tingkat kepuasan stakeholders pada lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan tinggi dengan tingkat adaptasi tinggi terhadap penggunaan teknologi dalam sistem layanan akan memiliki daya saing, dan sebaliknya lembaga pendidikan tinggi dengan tingkat adaptasi rendah terhadap aplikasi teknologi dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat.

Kalangan perguruan tinggi Islam di Indonesia, saat ini didorong untuk merubah paradigma dalam melihat pendidikan sebagai sebuah proses yang terus berkembang, tidak stagnan, transparan, dan akuntabel. Pola-pola pengelolaan konvensional, rigit, tertutup, tidak open minded hanya akan melanggengkan sistem layanan yang tidak efektif. Sebaliknya, pola pengelolaan dengan implementasi manajemen pendidikan tinggi modern,  berorientasi mutu, terukur, dan mengedepankan prinsip kolaboratif, team work, dan manajemen profesional akan lebih menarik animo dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tersebut.

PTKI perlu banyak berbenah dalam kontek pengembangan sistem pengelolaan, desain kurikulum, pengembangan proses pembelajaran, peningkatan jejaring dalam rangka menghasilkan mutu lulusan yang unggul dari aspek intelektual, fisikal, emosional, dan spiritual.

Tantangan Manajemen Pendidikan Islam di Era Revolusi Industri 4.0

Era Revolusi Industri 4.0 membawa dampak yang tidak sederhana. Ia berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Era ini ditandai dengan semakin sentralnya peran teknologi cyber dalam kehidupan manusia. Maka tak heran jika dalam dunia pendidikan muncul istilah “Pendidikan 4.0”. Pendidikan 4.0 (Education 4.0) adalah istilah umum digunakan oleh para ahli pendidikan untuk menggambarkan berbagai cara untuk mngintegrasikan teknologi cyber ke dalam pembelajaran. Ini adalah lompatan dari pendidikan 3.0 yang menurut Jeff Borden mencakup pertemuan ilmu saraf, psikologi kognitif, dan teknologi pendidikan. Pendidikan 4.0 adalah fenomena yang merespons kebutuhan manusia di zaman modern dimana manusia dan mesin diselaraskan untuk mendapatkan solusi, memecahkan masalah dan menemukan kemungkinan inovasi baru.

Education 4.0 ini juga menawarkan berbagai dampak destruptif di mana bermunculan banyak sekali inovasi–inovasi yang tidak terlihat, tidak disadari oleh organisasi mapan sehingga mengganggu jalannya aktivitas tatanan sistem lama atau bahkan menghancurkan sistem lama tersebut. Orang belajar tidak lagi semata-mata bergantung pada guru secara fisik, tetapi dapat menggunakan aplikasi pembelajaran seperti pada konsep e-learning.

Menurut Erry Rahmawan (2019) terdapat lima prinsip yang harus dipegang pendidik di era disruptive. Pertama, Push Beyond Comfort Zone  (keluar dari zona nyaman). Kedua, Works Toward Well Defined, Specific Goals (bekerja dengan target atau capaian yang jelas). Ketiga, Focus Intently on Impactful Activities (fokus memberikan aktivitas yang bermakna dan berdampak). Keempat, Receive and Respond High Quality Impact (menerima dan memberikan feedback berkualitas). Kelima, Develop Mental Model of Expertise (membentuk mental model seorang expert).

Menurut Daniel Bell, secara manajerial era pendidikan 4.0  menawarkan kecenderungan. Pertama, gejala persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Kedua, peningkatan ekspektasi dan harapan masyarakat. Ketiga, penggunaan high technology. Keempat, cenderung munculnya interpendensi (ketergantungan). Kelima, munculnya dari penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan terjadinya pola pikir (mindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari yang semula mereka belajar dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual, moral, fisik dan psikisnya, berubah menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar.

Kecenderungan modernitas di era destruptif ini tentu saja tidak boleh membuat umat Islam mundur dari aspek spiritual dan moralitas. Sejak awal pendidikan Islam pada semua level, termasuk pendidikan tinggi harus mengacu pada lima tujuan asasi pendidikan Islam. Pertama, membentuk akhlak mulia. Menurutnya pembentukan akhlak mulia merupakan ruh dari pendidikan Islam. Hal ini selaras dengan tujuan utama diutusnya Rasulullah ke dunia ini, yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kedua, bekal kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja, juga tidak pada keduniaan semata. Pendidikan Islam memberikan perhatian seimbang pada keduanya. Ketiga, menumbuhkan ruh ilmiah (scientific spirit) dan memuaskan rasa ingin tahu (curiosity). Keempat, menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, supaya ia dapat mencari rezeki dalam hidup dan hidup dengan mulia. Kelima, persiapan mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1990).

PTKI memiliki tugas dan tanggung jawab berat dan besar untuk mengakomodasi tuntutan manusia modern dan nilai-nilai spiritualitas Islam yang tinggi. Problem ini merupakan persoalan pengembangan manajemen yang penting. Deming, seorang pakar manajemen ternama menegaskan bahwa 80 % masalah mutu pendidikan lebih disebabkan faktor manajemen, sedangkan 20 % disebabkan faktor human resources (SDM). Konsep manajemen pendidikan modern penting dipahami dan dipraktikkan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang bertolak dari empat prinsip besar yaitu: kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan mutu berkesinambungan.

 

Penutup

Lembaga pendidikan Islam al-Ittifaqiyah perjalanan sejarah yang sangat panjang sampai dengan berdirinya STITQI al-Ittifaqiyah sebagai salah satu PTKI di Sumatera Selatan ini, dituntut untuk mengembangkan diri dengan berbagai inovasi dan distingsi yang kuat sehingga mampu melahirkan para sarjana yang unggul secara kognitif, afektif, dan skill sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berubah. Adagium klasik yang sering dikemukakan yakni “al-Mukhafazhatu ‘ala Qadim al-Shalih, wa Akhzu bi al-Jadid al-Ashlah”, menjadi kaidah inovasi yang sangat relevan di era education 4.0 yang menawarkan fenomena dan gejala destruptif.

Kita berharap jangan sampai gejala-gejala mengerikan seperti yang dideskripsikan Kavin Carey (2015) dalam bukunya “The End of College”, dan Neil Postman (2005) dalam bukunya “The End of Education” terjadi di negeri ini secara massif dimana lembaga pendidikan tidak berdaya menghasilkan lulusan yang unggul karena matinya pendidikan yang disebabkan oleh pengelolaan pendidikan yang kehilangan orientasi. Wallahu a’lam bi al-Shawwab.

X