Spiritualitas Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Tidak sulit melihat kaitan proses perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan peran ulama, para santri, semangat keagamaan dan spiritualitas Islam.

Hampir di semua daerah di In­do­ne­sia memiliki kisah-kisah heroik yang diperankan tokoh-tokoh agama atau ulama bahkan ada di­antaranya ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan seperti Imam Bonjol, Cik Di Tiro di Padang, Diponegoro,KH. Hasyim Asy’ari di Jawa, K.H.Syami’un di Banten, KH. Noer Ali di Makasar, Syekh Yusuf al-Makasari yang berjuang di beberapa wilayah di Indonedia sam­pai ke Afrika dan seterusnya.

Bahkan di Palembang dalam bait-bait syair Perang Palembang (perang Menteng) 1819 di­gam­barkan betapa sosok Kemas Said — juga seorang ulama menunjukkan sikap anti penjajah dan melakukan aksi kepahlawanan melawan tentara Belanda sampai syahid.

Selain Kemas Sa­id terdapat juga sosok Syekh Haji Zen –gugur dalam pertempuran perang Palembang. Spirit anti kolonial ini secara internasional juga digerakkan bersama-sama oleh para jamaah haji dari seluruh dunia saat berada di Mekkah seiring dengan keinginan semua negeri-negeri muslim untuk lepas dari cengkeraman penjajah Barat.

Semangat anti penjajah memang sejak awal ditanamkan di kalangan pesantren dan majelis-majelis pengajian para ulama sehingga membentuk sebuah karakter perlawanan yang sangat massif dari kalangan santri untuk membenci dan menolak keberadaan bangsa asing di negeri ini.

Seiring dengan perkembangan waktu, sering terjadi pecah kontak fisik antara para santri de­ngan tentara Belanda di beberapa wilayah.

Biasanya pesantren pada saat itu sekaligus berfungsi sebagai markas perjuangan kaum santri dan masyarakat muslim, sedangkan sang kiai merupakan aktor intelektual di belakang berbagai peristiwa perlawanan tersebut.

Ulama dan Semangat Perjuangan Kemerdekaan Pengertian ulama secara generik mengacu pada arti orang-orang berilmu yang me­rupakan pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan mem­bi­m­bing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-ha­ri yang diperlukan baik dari sisi agama maupun sosial kemasyarakatan.

Ulama adalah so­sok yang dipanuti, disegani, diteladani, dan sangat dihormati oleh masyarakat.Ulama di­pan­dang seba­gai orang suci yang mampu membimbing spiritualitas umat menuju pencerahan jiwa dan pengampunan Tuhan.

Posisi dan martabat ulama yang sangat tinggi di mata umat inilah yang se­lanjutnya berkorelasi dengan efektivitas seruan perjuangan untuk melawan penjajah secara ko­losal.Pada peristiwa di Surabaya di tahun 1945 misalnya, betapa sangat efektif seruan resolusi jihad yang dikeluarkan oleh para ulama.

Dalam fatwa jihad yang dikeluarkan para ulama setidaknya memiliki beberapa point penting, di antaranya bahwa perang melawan penjajah adalah fardhu’ain (wajib bagi semua orang), pa­ra pejuang yang gugur dalam peperangan dinilai sebagai mati syahid.

Istilah jihad dan syahid merupakan terminologi yang mampu menyentuh lapisan emosional da­ri keberislaman seseorang. Ketika ulama mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan pen­ja­jah maka ini dipandang sebagai ajakan mulia yang tidak pantas disia-siakan.

Inilah salah satu sikap penerimaan total terhadap eksistensi dan kedudukan ulama. Ulama yang telah menggerakkan semangat perjuangan kemerdekaan masa lampau adalah ulama mumpuni secara lahir batin.

Akhlak dan ilmu menyatu dalam pola interaksi pengajaran mereka kepada para santri dan umat dalam orkestra kesantunan budi, ketinggian penge­ta­hu­an, dan kerendahan hati dalam bentuk pelayanan terhadap kepentingan masyarakat banyak. Kepentingan bangsa dan umat di atas segala-galanya, sehingga melahirkan keteladanan yang tidak biasa.

Kualitas ulama yang luar biasa inilah yang sesungguhnya mampu menyentuh sisi terdalam dari kesadaran untuk berjuang sampai titik darah penghabisan dalam nuansa yang sa­ngat spiritual. Rasanya sangat sulit sebuah fatwa secara serentak diamalkan jika tidak ter­da­pat aspek mistifikasi yang dibangun secara simbolik sebagai dasar perjuangan ulama dan san­tri.

Ulama dengan segala identitasnya dianggap sebagai pengawal agama dan penunjuk jalan ke­benaran. Bahkan dengan kemampuan dan kesaktiannya yang luar biasa akan memperteguh daya kohesi dan motivasi para santri dan umat untuk memposisikan ulama sebagai sosok yang setiap ucapannya harus dipercaya dan diikuti.

Mengikuti ulama sama artinya menuju ja­lan lurus dan diridhoi Tuhan. Kalimat Allahu Akbar dalam Perjuangan Kemerdekaan.

Konon ketika Bung Tomo menggemakan kalimat Allahu Akbar sebagai penanda dimulainya resolusi jihad melawan sekutu penjajah, kalimat itu diamanahkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari untuk selalu didesahkan selama jihad berlangsung.

Kalimat takbir yang mengandung makna me­ngecilkan semua eksistensi selain Allah, untuk menyadari sepenuhnya bahwa hanya Allah saja yang Maha Besar. Kalimat ini memiliki energi yang mampu membuat setiap pem­ba­ca­nya merasakan getaran kebesaran Tuhan.

Kalimat ini adalah kalimat penghambaan, sekaligus pengakuan keagungan Tuhan.

Para pengucap kalimat takbir pada hakikatnya mengakui bahwa posisi manusia amat kecil di hadapan Tuhan.

Bahkan kesan kebesaran dan kekuatan penjajahpun dipandang sangat kecil dan sama sekali tidak berbanding dengan kebesaran Tu­han.

Dari kesadaran inilah, secara psikilogis menyimpan rasa percaya diri karena mendekat ke­pada yang Maha Besar, yang selanjutnya melahirkan semangat juang yang luar biasa. Hi­dup merdeka atau mati syahid.

Kondisi kesadaran psikologis yang pantang menyerah dan berani mati inilah yang secara nyata telah melemahkan semangat musuh-musuh bangsa.

Karena pengucapan kalimat takbir yang disertai penghayatan mendalam atas kebesaran Tuhan merupakan manifestasi iman yang kuat.

Iman adalah sarana untuk melakukan emansipasi harkat kemanusiaa. Karena se­cara fundamental iman adalah upaya memberikan keamanan dan kesentosaan.

Iman tidak hanya bermakna percaya (believe) semata, namun ia berfungsi sebagai sarana pembebasan diri dari ketergantungan, kesewenang-wenangan, intimidasi, penindasan, penjajahan, dan semacamnya.

Karena itu, sesungguhnya iman menjadi modal dasar penting untuk mem­ben­tuk persepsi kita tentang epos kepahlawanan.

Di sinilah spiritualitas perjuangan kemerdekaan Indonesia harus dilihat sebagai basis kesadaran yang menggerakkan semangat juang para san­tri dan umat untuk segera terbebas dari belenggu penindasan bangsa asing.

Dalam perspektif teologi pembebasan, agama dengan gejala simboliknya harus mampu me­nya­darkan penganutnya dari berbagai bentuk yang berpotensi mengungkung dan membatasi kreativitas kemanusiaan.

Dalam tinjauan tauhid, Tuhan itu tidak memiliki sekutu sehingga manusia harus membebaskan pemahaman religiusnya dari apapun bentuk yang meng­ha­langinya untuk menuju Tuhan.

Dunia memiliki banyak alternatif belenggu yang menghalangi ma­nusia untuk dekat pada Tuhan.

Menggantungkan harapan pada selain Tuhan merupakan salah satu bentuk belenggu yang harus dilepas.

Kesadaran tauhid murni yang dimiliki para u­lama pejuang di masa perang kemerdekaan jelas memiliki power yang tidak terhingga dan sa­ngat sulit dibendung oleh kekuatan penjajah.

Energi kesadaran tauhid ini selanjutnya di­tularkan kepada para santri sehingga setiap gumam dan desahan kalimat takbir yang diu­cap­kan mampu menggetarkan jiwa dan melampaui batas-batas pencapaian perjuangan kema­nusiaan biasa.

Pencapaian ini juga pernah terjadi pada perang Badar di mana kelompok kaum beriman yang sedikit mampu mengalahkan kekuatan zalim yang besar.

Momentum memperingati hari kemerdekaan republik Indonesia yang berusia 74 tahun ini patut merenungi dan melakukan refleksi agar dapat menyadari basis kekuatan spiritual yang me­lahirkan kebebasan dan kemerdekaan bangsa ini.

Tidak boleh ada anak bangsa ini yang melupakan basis kekuatan ini untuk kemudian menafikan sisi-sisi spiritualitas dari setiap na­fas kebangsaan nusantara ini.

Nafas kesadaran religious semua anak bangsa Indonesia adalah nafas spiritualitas yang manunggal dengan nafas kebangsaan secara holistic.

Fomulasi kebersamaan, persatuan, dan kerukunan bangsa ini yang terpatri pada konsep Pan­ca­sila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak boleh dirusak oleh kepen­ti­ng­an po­litik, ekonomi, sosial, dan ideologi manapun.

Bangsa ini harus terus mene­guh­kan ke­mam­pu­an internalnya untuk mampu tegak berdiri sama tinggi dengan bangsa lain dengan basis spi­ritual yang kuat di dalam dada setiap anak bangsa ini.

Semoga di usia NKRI ke-74 ini semua komponen bangsa ini semakin dewasa dan kembali menyadari konteks perjuangan kemerdekaan, pembangunan, dan reformasi dalam bingkai semangat moralitas kebangsaan dan nilai-nilai spiritual yang universal menuju Indonesia modern yang disegani.

Jangan beri kesempatan sedikitpun bagi tumbuh dan berkembangnya semangat anti kebangsaan yang diusung oleh berbagai kelompok manapun.

Hanya ke­de­wa­saan berpikirlah yang mampu memberikan kesadaran murni akan pentingnya menjaga nilai-nilai Islam washatiyyah di negeri ini.

Wallahu a’lam bi al-shawwab.

Artikel ini telah tayang di sripoku.com dengan judul Spiritualitas Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, https://palembang.tribunnews.com/2019/08/16/spiritualitas-dalam-perjuangan-kemerdekaan-indonesia?page=4.

Editor: Salman Rasyidin

 

 

 

 

X